JellyPages.com

Thursday 16 April 2009

Model Layanan Pendidikan untuk Kabupaten Yahukimo


Kebutuhan Logistik dan Pendidikan di suplay dengan transportasi pesawat berkapasitas 6-10 org.

Berdasarkan informasi dari berbagai masmedia mengungkapkan bencana kelaparan melanda di Kabupaten Yahukimo yang mengakibatkan masyarakat yahukimo terutama anak-anak usia sekolah mengalami gangguan kesehatan hingga jatuhnya korban jiwa. Dengan kondisi kesehatan yang tertanggu dan gizi buruk, kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk
Kemampuan siswa dalam pembelanjaran di sekolah, mutu kelulusan guru, manajemen pendidikan, dsb merupakan sebagian tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan percepatan pendidikan di Papua. Terutama kualitas guru yang akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak disekolah. Selama berada di sekolah, anak akan mengalami pembentukan kepribadian, cara berprilaku, memperoleh pengarahan, bimbinngan, pengajaran dan latihan hingga mendapatkan tranformasi ilmu, nilai dan budaya. Sudah selayaknya anak mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu dan agen pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Pengendalian Mutu Pendidikan (BPPMP) Propinsi Papua, dikatakan bahwa pada umumnya mutu pendidikan dasar di tanah Papua, memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak berjalannya proses belajar mengajar sebagaimana mestinya. Distribusi guru yang menumpuk di kota, kesejahteraan yang tidak adil antara guru mengajar di kota dengan guru mengajar daerah terpencil, prilaku guru yang sering meninggalkan tempat tugas dalam jangka waktu yang lama bahkan ditemukan ada yang tinggal dikota dalam hitungan bulan, hingga pa akhirnya berdampak pada hasil belajar anak. BPPM juga menyimpulkan bahwa NEM (Nilai Ebtanas Murni) murid-murid SD se Papua berada di bawa rata-rata standar.
Kondisi pendidikan yang memprihatinkan ini, tentunya membutuhkan perhatian khusus, mengingat pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam perencaan masa depan suatu bangsa. Peningkatan Mutu Pendidikan di Papua membutuhkan perbaikan dan penataan ulang secara profesional guna membebaskan masyarakat Papua dari berbagai keterbelakangan, terutama daerah-daerah khusus, sulit dan terpencil seperti Kabupaten Yahukimo. Peran pendidik dan tenaga kependidikan sebagai agen penting yang memberikan layanan pendidikan dalam proses pembelanjaran, ikut menentukan mutu pendidikan. Dalam rangka membebaskan masyarakat Papua dari berbagai keterbelakangan pendidikan tersebut, perlu dicari model-model layanan pendidikanterutama untuk daera-daerah sulit, khusus dan terpencil sehingga permasalahan peningkatan pendidikan dapat diatasi.
Untuk itu diperlukan persiapan dan perencanaan yang matang dalam menemukan model-model layanan pendidikan di Yahukimo-Papua terutama daerah-daerah khusus tersebut, yaitu Koropon, Sela,Dhagi dan Nalca. Diharapkan hasil temuan model layanan pendidikan tersebut, dapat dipergunakan juga di daerah-daerah khusus yang memiliki kesamaan permasalahan.
Yahukimo Project 2006

BERMUTU PROJECT FOR MERAUKE

Workshop BERMUTU di Kabupaten Merauke

Pilot BERMUTU merupakan program Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan-Depdiknas bekerjasama dengan World Bank (Kabupaten Merauke dan menjadi salah satu kabupaten dari 5 kabupaten terpilih untuk tahun 2007). Kuatnya komitmen dan rencana aksi Bupati sebagai pemimpin daerah dalam meningkatkan percepatan pendidikan di Kabupaten Merauke, menjadi nilai tambah positif dalam penilaian pemilihan 5 kabupaten yang terlibat di Pilot BERMUTU. Sebagai Kabupaten yang dipercaya untuk melaksanakan program tersebut, Kabupaten Merauke sangat berbangga hati sekaligus secara serius mempersiapkan dengan sungguh-sungguh setiap langkah yang akan dilaksanakan. Ada 2 hal penting yang menjadi fokus penanganan pilot BERMUTU yaitu Peningkatan Kualifikasi - Sertifikasi Guru dan Pengangkatan – Penempatan Guru. Untuk ke-dua hal tersebut, Bupati Kabupaten Merauke menyatakan siap dan mendukung sepenuhnya.
Keseriusan Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke dalam menindak lanjuti Pilot BERMUTU dapat dibuktikan dengan telah terbentuknya Gugus Kerja Daerah melalui SK Bupati no 86 tahun 2007. Keterlibatan berbagai komponen Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke dan unsur-unsur terkait seperti Komisi Pendidikan DPRD, Badan Perencanaan Daerah, Dinas Pendidikan, Kantor Departemen Agama, Bagian Kepegawaian Sekretariat Daerah, perwakilan PGRI, perwakilan Pengawas, perwakilan Kepala Sekolah dan perwakilan Yayasan Pendidikan Sekolah Swasta dalam Gugus Kerja Daerah dan 2 Tim Teknisnya, diharapkan dapat memberikan angin segar bagi penanganan permasalahan pendidikan khususnya yang terkait dengan guru di Kabupaten Merauke.
Sesuai dengan data yang ada disebutkan bahwa jumlah guru di Kabupaten Merauke yang sesuai dengan tuntutan Undang-Undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yaitu S1/D4, masih jauh dari yang diharapkan. Terutama untuk guru-guru Sekolah Dasar yang berada di luar ibu kota Kabupaten. Sementara, tingkat kualifikasi S1/D4 menjadi salah satu syarat utama yang diisyaratkan menuju sertifikasi guru. Tentunya hal tersebut menjadi perhatian penting Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke untuk berupaya menangani peningkatan kualifikasi guru tersebut. Upaya penanganan yang dilakukan yaitu penandatangan MOU antara Bupati Kabupaten Merauke dengan Fakultas Kependidikan Universitas Cendrawasih untuk membuka kelas peningkatan kualifikasi bagi guru-guru dengan ijasah sederajat sekolah menengah menjadi D2 dan dari D2 menjadi D4/S1.
Berdasarkan kesepakatan mengenai proses perkuliahan, kelas dilaksanakan dengan mendatangkan dosen-dosen Fakultas Kependidikan Universitas Cendrawasih ke Kabupaten Merauke. Sehingga guru yang mengikuti program tersebut selain memperoleh beasiswa belajar dari Pemerintah Daerah, juga lebih mudah menjangkau akses pendidikan guru dengan transportasi yang lebih murah. Agar fasilitas tersebut dapat dirasakan juga bagi guru-guru yang berada di luar kota, maka Pemerintah Daerah juga membantu menyediakan fasilitas pondokan bagi guru selama mengikuti proses perkuliahan.
Bagi 5 Kabupaten Pilot telah direncanakan Quota khusus uji sertifikasi berikut tunjangan profesionalnya untuk 1000 orang guru dengan biaya sebesar Rp 2.500.000,-/orang, dari dana pusat. Maka pembaharuan data menjadi sangat penting dilakukan guna mendukung perencanaan secara berkelanjutan, terutama mendukung rencana uji sertifikasi guru secara nasional. Oleh sebab itu disebutkan pada rencana kerja Pilot BERMUTU 2007 mengenai pemetaan dan pendataan guru secara lebih detil sampai pada data individual guru, saat ini sedang diupayakan. Untuk membantu tim pendataan di Kabupaten Merauke, sebagai salah satu agenda kerja Pilot BERMUTU, pada bulan Maret 2007 telah dilaksanakan Workshop Pendataan dan Pemetaan Sekolah. Diharapkan dengan adanya validasi data semacam ini, Pemerintah Daerah dapat lebih mudahdalam pemilihan guru untuk uji sertifikasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Permasalahan penting lainnya adalah penanganan kebutuhan guru terutama guru Sekolah Dasar. Berdasarkan hasil laporan pendataan, jumlah guru di kota kabupaten terjadi penumpukkan sementara di daerah sulit jangkauan mengalami kekurangan guru. Kekurangan formasi guru yang dibutuhkan disebabkan oleh beberapa kasus menunjukkan bahwa banyak guru tidak betah tinggal di lokasi tugasnya karena ketidak tersediaan fasilitas dan sulitnya akses transportasi. Sementara untuk guru di tingkat sekolah menengah terjadi pada mata pelajaran eksak yang sedikit sekali peminatnya. Hal ini tentu akan menjadi kendala serius untuk mendistribusikan guru. Dalam hal ini Pemerintah Daerah telah mengupayakan beberapa penanganan sebelumnya seperti memberikan insentif tambahan dan membentuk tim satuan tugas guru secara khusus, tetapi berdasarkan hasil pemantauan, hasil yang diharapkan belum maksimal. Kebutuhan akan perumahan dinas sudah menjadi agenda rutin pengajuan fasilitas guru terutama di daerah terpencil. Maka pada rencana kerja pilot BERMUTU, isu semacam ini menjadi prioritas penyusunan kebijakan pemerintah daerah.
Tahun 2007 ini akan dicobakan ide Bupati Kabupaten Merauke untuk mengisi formasi kekurangan guru dengan prosedur pengadaan guru baru di tingkat sekolah. Apabila sekolah telah mempunyai kandidat guru baru dari pelamarnya, maka pemerintah daerah akan mengangkat guru tersebut di sekolah tempat guru melamar. Disamping itu peran masyarakat setempat diharapkan ikut menentukan pemilihan kandidat guru tersebut. Dengan demikian, formasi kebutuhan guru dapat diisi oleh guru yang tepat sesuai dengan permintaan. Ide orisinal semacam ini akan disempurnakan dalam bentuk Keputusan Bupati yang sebelumnya diolah terlebih dahulu oleh Gugus Kerja Daerah Pilot BERMUTU. Langkah yang telah dilakukan pada Workshop ke 3 tentang Isu Kebijakan di Kabupaten Merauke, tim Gugus Kerja Daerah telah mencoba menyusun draft poin-poin penting terkait dengan penyusunan kebijakan tersebut, termasuk mengenai pendistribusian kembali guru.

Pendidikan untuk Perempuan Yahukimo


Mama, ini rumah kami (profil perempuan di Kampung Duraum Pegunungan Tengah Papua)

Kabupaten Yahukimo merupakan 1 (satu) dari 6 kabupaten lainnya yang berada di pegunungan tengah. Semula, kabupaten ini tergabung di dalam satu kabupaten Jayawijaya, sejak tahun 2003, kabupaten Yahukimo berdiri sebagai kabupaten baru bersama lima kabupaten lainnya, hasil dari pemekaran kabupaten Jayawijaya. Nama Yahukimo sendiri diambil dari suku kata nama depan suku asli terbesar yang bermukim di dataran dengan ketinggian antara 200 – 3000 m di atas permukaan laut. Nama suku tersebut adalah Yali, Hubla, Kimyal dan Una-Ukam. Paling tidak ada 10 suku besar di kabupaten Yahukimo dan merupakan gabungan suku-suku kecil lainnya. Bahasa mereka berbeda, lokasi tinggal berbeda dan adat-budayanyapun berbeda. Memang ditemukan kemiripan-kemiripan pengucapan kata, tetapi antara satu suku dan suku lainnya lebih banyak tidak melakukan komunikasi karena masalah bahasa dan aturan adat.
Dari satu area kabupaten ini, hanya 20 persen dari luas keseluruhan yang berada di dataran landai, sementara lokasi pemukiman lainnya berada di atas ketinggian atau berada di pegunungan yang bersuhu dingin dan berangin kencang. Komposisi penduduk sejumlah 57.998 laki-laki, sedangkan perempuan sebanyak 52.082 jiwa dengan jumlah anak sekolah SD, SMP dan SMA. Sebanyak kurang lebih 16.000 an siswa tertampung pada 96 SD, 7 SMP dan 2 SMA yang tersebar di pegunungan dengan kondisi fasilitas pendidikan yang memprihatinkan.
Data terpenting lainnya adalah mengenai buta aksara, diketahui sekitar 85 % penduduk tidak dapat membaca, menulis dan berhitung. Angka tersebut tampaknya berimbang dengan jumlah siswa sekolah yang dikategorikan mampu melakukan CALISTUNG. Ironisnya, buta aksara tersebut sebagian besar adalah perempuan. Apabila melihat komposisi siswa perempuan yang menurun di setiap jenjang pendidikan, tidaklah heran apabila perempuan paling banyak mengalami buta aksara.
Ditambah lagi dengan kondisi kemiskinan penduduk terutama yang bermukim di pegunungan. Tanah sebagai salah satu sumber pangan di daerah pegunungan tampaknya tidak bersahabat dengan manusia. Hanya sedikit dari jenis tanaman yang dapat ditanam dan menghasilkan pangan cukup seperti Hipere (ubi sejenis talas), jagung, kentang dan tebu. Hasil panen rata-rata satu tahu 2 kali dan pada musim dingin, panen cenderung gagal. Untuk memenuhi kebutuhan perut, hasil pertanian tidak dapat diandalkan. Sedangkan untuk memperoleh hasil hutan, mereka harus mengadu nyawa apabila bersinggungan dengan suku lain ataupun hewan yang mematikan. Tinggal di lokasi dataran tinggi bagi suku-suku di Yahukimo merupakan tempat teraman dari serangan suku lain ataupun penyakit seperti malaria dan kolera.
Penduduk masih banyak yang telanjang dengan kondisi fisik yang lemah. Kebanyakan mereka bertubuh pendek kurus, perut buncit dan berpenyakit kulit serta ISPA. Hasil wawancara penulis menemukan bahwa bukan karena budaya mereka tidak berpakaian, tetapi karena miskin dan tidak mampu membeli pakaian. Mereka merasakan dinginnya hawa pegunungan danmendekam dalam Honai (rumah bulat) rapat, penuh dengan asap untuk menghangatkan badan.
Mengapa perempuan banyak yang tidak bersekolah? Karena tidak semua desa memiliki sekolah. Untuk mencapai sekolah di tetangga desa, anak harus berjalan kaki antara 1 hari s/d 1 minggu, menuruni lembah, menerabas hutan dan mendaki gunung. Untuk anak perempuan yang sudah beranjak dewasa, terutama dianggap layak untuk menikah maka sekolah bukanlah prioritas bagi mereka. Kewajiban anak perempuan lebih pada pekerjaan domestik yaitu mengurus rumah, menikah, mencari makanan/berkebun dan menjaga harta yaitu babi. Bahkan di beberapa suku, harga babi lebih mahal dibandingkan perempuan. Budaya dan alam merupakan penghalang besar bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan.
Kondisi geografis dan demografis yang sangat sulit dan tidak menguntungkan, merupakan kendala besar yang dihadapi pemerintah daerah guna meningkatkan pendidikan di kabupaten Yahukimo. Bahkan hingga saat ini, upaya-upaya pemerintah daerah guna mengaktifkan pembelajaran di daerah tersebut masih belum maksimal. Terbukti, hingga saat ini masih belum ada pengembangan perda yang dikembangkan pemerintah daerah guna mengatasi kondisi tersebut selain Surat Edaran atau SK dari Bupati. Bahkan untuk menjalankan pemerintahan di kabupaten Yahukimo, pemerintah daerah masih banyak menggunakan kota Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) sebagai sentral kegiatan, akibat dari sulitnya transportasi dan infrastruktur pendukung.
Kabupaten Yahukimo, merupakan salah satu contoh ekstrim dari hasil pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia. Dimana perempuan begitu jauh tertinggal bahkan tidak tersentuh oleh pembangunan karena begitu banyak persoalan yang justru diabaikan, padahal persoalan tersebut sebenarnya adalah kunci dari pemecahan masalah. Pendidikan juga merupakan alat pembangunan khususnya pembangunan sumber daya manusia yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi pada implementasi kebijakan tersebut, seringkali kendala geografis dan kultur budaya dijadikan alasan atau kendala guna membangun suatu pendidikan. Terutama sekali bagi pendidikan di daerah pedesaan bahkan daerah terpencil.
Pada masa pemerintahan orde baru, pembangunan dilakukan dengan sistem Top-Down tanpa mempertimbangkan kendala dan permasalahan apa yang terjadi dan akan terjadi di lapangan. Sekitar tahun 1980an, berdasarkan Instruksi Presiden dibantu dengan dana Inpres, pembangunan gedung sekolah diwajibkan hingga ke tingkat desa, dengan aturan/juklak yang telah ditentukan dari pusat. Maka berdirilah gedung-gedung sekolah di atas desa-desa, pedalaman dan di atas gunung tanpa mempertimbangkan lagi kesulitan lapangan dan faktor perawatannya. Yang terjadi sekarang adalah gedung sudah rusak sebagai akibat gedung dibangun dengan “penyesuaikan dana”, bahkan ada yang terbalik karena kencangnya angin, dan yang terpenting adalah masyarakat tidak dapat melakukan perawatan mandiri karena bahan bangunan yang dipergunakan adalah hasil pabrikasi, sudah tentu untuk daerah pedesaan dan pedalaman harganya menjadi sangat mahal.
Akibat lain yang ditimbulkan adalah berkembangnya image pendidikan di masyarakat yang berarti adalah SEKOLAH. Menyelenggarakan pendidikan harus berada di gedung sekolah, guru mengajar harus berada di gedung sekolah dengan fasilitas hasil pabrikasi. Akibatnya, pendidikan yang berlaku di masyarakat adalah Sekolah dalam gedung sekolah dengan fasilitas hasil pabrikasi. Benarkah pendidikan hanya dapat ditempuh dengan jalan demikian? Apakah yang diakibatkan oleh image yang berkembang tersebut? Sudah barang tentu secara tidak langsung akan meminggirkan perempuan untuk masuk ke dalamnya. Pendidikan yang diselenggarakan memang tidak menarik biaya (terutama di daerah pedalaman), tetapi benarkah tidak menghabiskan biaya? Untuk menempuh pendidikan, seorang anak harus berjalan kaki paling tidak 1-2 hari melewati daerah berbahaya, kemudian menginap di sekolah atau di mana saja agar esok bisa bersekolah kembali. Pernahkah terpikir, siapa yang akan memberi makan mereka? Bagiamana cara mereka mendapatkan makanan? Begitu rawannya bagi seorang anak perempuan untuk bersekolah, apalagi untuk seorang anak gadis. Sudah barang tentu akan menjadi mangsa bagi praktek-praktek Trafiking dan Kekerasan. Hal tersebut disadari betul oleh orang tua dan pengurus adat, sehingga sekolah menjadi barang terlarang bagi anak perempuan. Hanya yang memiliki orang tua mampu sajalah, seorang anak perempuan dapat bersekolah dengan fasilitas keamanan lebih memadai.
Apa yang terjadi di kabupaten Yahukimo merupakan hasil penerapan Teori Modernisasi klasik, dimana pola-pola pembangunan yang mengacu pada satu model, pada saat itu model idealnya adalah Jawa. Pembangunan pendidikan yang dilakukan berdasarkan model pendidikan yang dikembangkan di Jawa menghasilkan replika-replika di daerah lain yang belum tentu kondisi dan situasinya sama dengan Jawa. Bagaimana bisa sebuah gedung sekolah berdinding bata dapat berdiri di atas gunung dengan akses transportasi udara? Pernahkah dipikirkan tentang perawatan bangunan di kemudian hari bila ada kerusakan? Sesuatu yang “Modern” telah ditentukan dari pusat, bahwa sekolah harus memiliki gedung berdinding bata. Tidak heran ketika terjadi kerusakan, masyarakat tidak mampu memperbaiki maka sekolahpun bubar.
Yang perlu dicermati pula adalah proses pengkajian model pembangunan pendidikan yang dilakukan di Jawa dan tidak di lapangan. Bagaimana konstruksi budaya yang ada? Bagaimana pola hidup yang ada? Semua diketahui melalui buku, literatur dan wacana yang dikembangkan oleh dunia pengetahuan. Benarkah semua itu merupakan referensi yang sama dengan yang ada di lokasi? Semua yang berkembang hanyalah sesuatu yang abstrak, imajiner dan tidak nyata. Lebih parah lagi apabila pengembangan tersebut tidak didukung oleh penikmat hasil pembangunan sesungguhnya/masyarakat setempat.
Pada kenyataannya, kehadiran pembangunan berdasarkan teori modernisasi klasik ini, betul-betul hanya pemindahan “Row Model” pada lokasi yang membutuhkan. Ketika terjadi gesekan di lapangan, biasanya akan dipergunakan kekuatan lain untuk meredam. Perkiraan akan konflik tidak dipertimbangkan sebelumnya. Nilai tradisi dianggap sesuatu yang kuno dan hanya patut berjajar di museum sebagai pajangan atau barang antik. Padahal hingga kini, nilai tradisi, perkembangan budaya lokal, adat tradisi masih melekat pada kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat di Indonesia terutama pada suku-suku tertentu.
Yahukimo Project 2006

Good and Bad Teachers I Found

Bapa, kapan kami sekolah (Kampung Sela di Pegunungan Tengah Papua)

When I was traveling far away distant to emborder area, I found a very dedicate teacher who always teach even they got nothing for pay. But they had a very care community, loyal students and satisfied relationship. Almost entired of his life, he lived there and gave children something to survive.
I learned from them how to gratefull for they got, and that couldnt compare with money. That’s the people should learn from them, gratefull to the lord.
I also found the other face of teacher on my trip to district city. They want another insentif beside their allowance. But they didnt teach children for a long time cause have no book and transport to go to school. How evil they are.
But I thank to them too, cause gave me a lesson for not ignore my responsibility to my work.
My great "guru" always said, do what you can do right now and never think about what you got from them. You will find amazing reward from your dignity later,and it’s work. That’s why I never think about what I got for what I do and did. It will be come soon even I didn’t ask for it. Incredible world.
Yahukimo Project, 2006