JellyPages.com

Thursday 16 April 2009

Pendidikan untuk Perempuan Yahukimo


Mama, ini rumah kami (profil perempuan di Kampung Duraum Pegunungan Tengah Papua)

Kabupaten Yahukimo merupakan 1 (satu) dari 6 kabupaten lainnya yang berada di pegunungan tengah. Semula, kabupaten ini tergabung di dalam satu kabupaten Jayawijaya, sejak tahun 2003, kabupaten Yahukimo berdiri sebagai kabupaten baru bersama lima kabupaten lainnya, hasil dari pemekaran kabupaten Jayawijaya. Nama Yahukimo sendiri diambil dari suku kata nama depan suku asli terbesar yang bermukim di dataran dengan ketinggian antara 200 – 3000 m di atas permukaan laut. Nama suku tersebut adalah Yali, Hubla, Kimyal dan Una-Ukam. Paling tidak ada 10 suku besar di kabupaten Yahukimo dan merupakan gabungan suku-suku kecil lainnya. Bahasa mereka berbeda, lokasi tinggal berbeda dan adat-budayanyapun berbeda. Memang ditemukan kemiripan-kemiripan pengucapan kata, tetapi antara satu suku dan suku lainnya lebih banyak tidak melakukan komunikasi karena masalah bahasa dan aturan adat.
Dari satu area kabupaten ini, hanya 20 persen dari luas keseluruhan yang berada di dataran landai, sementara lokasi pemukiman lainnya berada di atas ketinggian atau berada di pegunungan yang bersuhu dingin dan berangin kencang. Komposisi penduduk sejumlah 57.998 laki-laki, sedangkan perempuan sebanyak 52.082 jiwa dengan jumlah anak sekolah SD, SMP dan SMA. Sebanyak kurang lebih 16.000 an siswa tertampung pada 96 SD, 7 SMP dan 2 SMA yang tersebar di pegunungan dengan kondisi fasilitas pendidikan yang memprihatinkan.
Data terpenting lainnya adalah mengenai buta aksara, diketahui sekitar 85 % penduduk tidak dapat membaca, menulis dan berhitung. Angka tersebut tampaknya berimbang dengan jumlah siswa sekolah yang dikategorikan mampu melakukan CALISTUNG. Ironisnya, buta aksara tersebut sebagian besar adalah perempuan. Apabila melihat komposisi siswa perempuan yang menurun di setiap jenjang pendidikan, tidaklah heran apabila perempuan paling banyak mengalami buta aksara.
Ditambah lagi dengan kondisi kemiskinan penduduk terutama yang bermukim di pegunungan. Tanah sebagai salah satu sumber pangan di daerah pegunungan tampaknya tidak bersahabat dengan manusia. Hanya sedikit dari jenis tanaman yang dapat ditanam dan menghasilkan pangan cukup seperti Hipere (ubi sejenis talas), jagung, kentang dan tebu. Hasil panen rata-rata satu tahu 2 kali dan pada musim dingin, panen cenderung gagal. Untuk memenuhi kebutuhan perut, hasil pertanian tidak dapat diandalkan. Sedangkan untuk memperoleh hasil hutan, mereka harus mengadu nyawa apabila bersinggungan dengan suku lain ataupun hewan yang mematikan. Tinggal di lokasi dataran tinggi bagi suku-suku di Yahukimo merupakan tempat teraman dari serangan suku lain ataupun penyakit seperti malaria dan kolera.
Penduduk masih banyak yang telanjang dengan kondisi fisik yang lemah. Kebanyakan mereka bertubuh pendek kurus, perut buncit dan berpenyakit kulit serta ISPA. Hasil wawancara penulis menemukan bahwa bukan karena budaya mereka tidak berpakaian, tetapi karena miskin dan tidak mampu membeli pakaian. Mereka merasakan dinginnya hawa pegunungan danmendekam dalam Honai (rumah bulat) rapat, penuh dengan asap untuk menghangatkan badan.
Mengapa perempuan banyak yang tidak bersekolah? Karena tidak semua desa memiliki sekolah. Untuk mencapai sekolah di tetangga desa, anak harus berjalan kaki antara 1 hari s/d 1 minggu, menuruni lembah, menerabas hutan dan mendaki gunung. Untuk anak perempuan yang sudah beranjak dewasa, terutama dianggap layak untuk menikah maka sekolah bukanlah prioritas bagi mereka. Kewajiban anak perempuan lebih pada pekerjaan domestik yaitu mengurus rumah, menikah, mencari makanan/berkebun dan menjaga harta yaitu babi. Bahkan di beberapa suku, harga babi lebih mahal dibandingkan perempuan. Budaya dan alam merupakan penghalang besar bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan.
Kondisi geografis dan demografis yang sangat sulit dan tidak menguntungkan, merupakan kendala besar yang dihadapi pemerintah daerah guna meningkatkan pendidikan di kabupaten Yahukimo. Bahkan hingga saat ini, upaya-upaya pemerintah daerah guna mengaktifkan pembelajaran di daerah tersebut masih belum maksimal. Terbukti, hingga saat ini masih belum ada pengembangan perda yang dikembangkan pemerintah daerah guna mengatasi kondisi tersebut selain Surat Edaran atau SK dari Bupati. Bahkan untuk menjalankan pemerintahan di kabupaten Yahukimo, pemerintah daerah masih banyak menggunakan kota Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) sebagai sentral kegiatan, akibat dari sulitnya transportasi dan infrastruktur pendukung.
Kabupaten Yahukimo, merupakan salah satu contoh ekstrim dari hasil pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia. Dimana perempuan begitu jauh tertinggal bahkan tidak tersentuh oleh pembangunan karena begitu banyak persoalan yang justru diabaikan, padahal persoalan tersebut sebenarnya adalah kunci dari pemecahan masalah. Pendidikan juga merupakan alat pembangunan khususnya pembangunan sumber daya manusia yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi pada implementasi kebijakan tersebut, seringkali kendala geografis dan kultur budaya dijadikan alasan atau kendala guna membangun suatu pendidikan. Terutama sekali bagi pendidikan di daerah pedesaan bahkan daerah terpencil.
Pada masa pemerintahan orde baru, pembangunan dilakukan dengan sistem Top-Down tanpa mempertimbangkan kendala dan permasalahan apa yang terjadi dan akan terjadi di lapangan. Sekitar tahun 1980an, berdasarkan Instruksi Presiden dibantu dengan dana Inpres, pembangunan gedung sekolah diwajibkan hingga ke tingkat desa, dengan aturan/juklak yang telah ditentukan dari pusat. Maka berdirilah gedung-gedung sekolah di atas desa-desa, pedalaman dan di atas gunung tanpa mempertimbangkan lagi kesulitan lapangan dan faktor perawatannya. Yang terjadi sekarang adalah gedung sudah rusak sebagai akibat gedung dibangun dengan “penyesuaikan dana”, bahkan ada yang terbalik karena kencangnya angin, dan yang terpenting adalah masyarakat tidak dapat melakukan perawatan mandiri karena bahan bangunan yang dipergunakan adalah hasil pabrikasi, sudah tentu untuk daerah pedesaan dan pedalaman harganya menjadi sangat mahal.
Akibat lain yang ditimbulkan adalah berkembangnya image pendidikan di masyarakat yang berarti adalah SEKOLAH. Menyelenggarakan pendidikan harus berada di gedung sekolah, guru mengajar harus berada di gedung sekolah dengan fasilitas hasil pabrikasi. Akibatnya, pendidikan yang berlaku di masyarakat adalah Sekolah dalam gedung sekolah dengan fasilitas hasil pabrikasi. Benarkah pendidikan hanya dapat ditempuh dengan jalan demikian? Apakah yang diakibatkan oleh image yang berkembang tersebut? Sudah barang tentu secara tidak langsung akan meminggirkan perempuan untuk masuk ke dalamnya. Pendidikan yang diselenggarakan memang tidak menarik biaya (terutama di daerah pedalaman), tetapi benarkah tidak menghabiskan biaya? Untuk menempuh pendidikan, seorang anak harus berjalan kaki paling tidak 1-2 hari melewati daerah berbahaya, kemudian menginap di sekolah atau di mana saja agar esok bisa bersekolah kembali. Pernahkah terpikir, siapa yang akan memberi makan mereka? Bagiamana cara mereka mendapatkan makanan? Begitu rawannya bagi seorang anak perempuan untuk bersekolah, apalagi untuk seorang anak gadis. Sudah barang tentu akan menjadi mangsa bagi praktek-praktek Trafiking dan Kekerasan. Hal tersebut disadari betul oleh orang tua dan pengurus adat, sehingga sekolah menjadi barang terlarang bagi anak perempuan. Hanya yang memiliki orang tua mampu sajalah, seorang anak perempuan dapat bersekolah dengan fasilitas keamanan lebih memadai.
Apa yang terjadi di kabupaten Yahukimo merupakan hasil penerapan Teori Modernisasi klasik, dimana pola-pola pembangunan yang mengacu pada satu model, pada saat itu model idealnya adalah Jawa. Pembangunan pendidikan yang dilakukan berdasarkan model pendidikan yang dikembangkan di Jawa menghasilkan replika-replika di daerah lain yang belum tentu kondisi dan situasinya sama dengan Jawa. Bagaimana bisa sebuah gedung sekolah berdinding bata dapat berdiri di atas gunung dengan akses transportasi udara? Pernahkah dipikirkan tentang perawatan bangunan di kemudian hari bila ada kerusakan? Sesuatu yang “Modern” telah ditentukan dari pusat, bahwa sekolah harus memiliki gedung berdinding bata. Tidak heran ketika terjadi kerusakan, masyarakat tidak mampu memperbaiki maka sekolahpun bubar.
Yang perlu dicermati pula adalah proses pengkajian model pembangunan pendidikan yang dilakukan di Jawa dan tidak di lapangan. Bagaimana konstruksi budaya yang ada? Bagaimana pola hidup yang ada? Semua diketahui melalui buku, literatur dan wacana yang dikembangkan oleh dunia pengetahuan. Benarkah semua itu merupakan referensi yang sama dengan yang ada di lokasi? Semua yang berkembang hanyalah sesuatu yang abstrak, imajiner dan tidak nyata. Lebih parah lagi apabila pengembangan tersebut tidak didukung oleh penikmat hasil pembangunan sesungguhnya/masyarakat setempat.
Pada kenyataannya, kehadiran pembangunan berdasarkan teori modernisasi klasik ini, betul-betul hanya pemindahan “Row Model” pada lokasi yang membutuhkan. Ketika terjadi gesekan di lapangan, biasanya akan dipergunakan kekuatan lain untuk meredam. Perkiraan akan konflik tidak dipertimbangkan sebelumnya. Nilai tradisi dianggap sesuatu yang kuno dan hanya patut berjajar di museum sebagai pajangan atau barang antik. Padahal hingga kini, nilai tradisi, perkembangan budaya lokal, adat tradisi masih melekat pada kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat di Indonesia terutama pada suku-suku tertentu.
Yahukimo Project 2006

No comments: